Juli menatap kontrak di hadapannya. Tulisan kecil di bagian bawah mengonfirmasi bahwa dia setuju untuk menjadi model dalam pemotretan bertema bondage ekstrem. Dia membaca ulang beberapa kali, memastikan tidak ada celah yang terlewat. “30 menit dalam ikatan penuh, tubuh dibungkus tanpa bisa bergerak, hanya tersisa lubang napas…” Itu yang tertera di salah satu klausul utama.
“Kau yakin?” tanya seorang pria berkacamata yang duduk di seberangnya. Namanya Victor, fotografer ternama dalam dunia fetish art. Sorot matanya tajam, profesional, dan sedikit menakutkan.
Juli menelan ludah dan mengangguk. “Ya, aku siap.”
Ruangan pemotretan terasa dingin. Di tengahnya terdapat ranjang hitam, terlihat kontras dengan kulit putih mulus Juli. Beberapa asisten membantu memasangkan tali shibari, menarik kakinya ke belakang hingga menekuk di atas leher, lalu mengikat tangannya melingkari kakinya, memperkuat posisinya yang kini menyerupai boneka Daruma. Sensasi ketegangan mulai menjalar dari ujung jari kakinya hingga ke bahu.
“Baiklah, kita lanjut ke tahap berikutnya,” kata Victor.
Asisten mengambil gulungan lakban hitam dan mulai membungkus tubuhnya dari kaki, perut, hingga leher. Lapisan demi lapisan semakin menekan tubuh mungilnya, membatasi setiap kemungkinan gerakan. Juli menarik napas dalam-dalam melalui lubang kecil yang tersisa di bagian wajahnya.
Detik pertama terasa biasa saja.
Lima menit berlalu, sensasi hangat mulai terasa di tubuhnya. Napasnya masih teratur, meski dada terasa sedikit terhimpit.
Sepuluh menit kemudian, denyut nadi di pelipisnya mulai berdetak lebih cepat. Kulitnya berkeringat, dan hawa panas merayap dari dalam lakban yang membungkusnya erat. Dia mencoba menggerakkan jari, tetapi tidak ada celah sedikit pun untuk bergerak. Pikirannya mulai terpecah antara profesionalisme dan dorongan naluriah untuk keluar.
Setelah Lima belas menit, Panik mulai menyerang.
Juli mencoba menggerakkan tubuhnya lebih keras, tetapi semakin dia berusaha, semakin dia menyadari bahwa dia benar-benar tak berdaya. Jantungnya berdegup kencang, kepalanya dipenuhi bayangan gelap tentang kehabisan napas dan terjebak selamanya dalam balutan ini.
Dia mulai mengerang, mencoba memberi sinyal bahwa dia ingin berhenti.
Victor melihatnya dari balik kamera. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, nada suaranya tetap tenang namun sedikit tajam.
Juli menggelengkan kepala sekuat tenaga. Dia ingin keluar! Sekarang juga!
Namun, kontrak sudah ditandatangani.
Victor melirik stopwatch di tangannya. Masih tersisa lima belas menit.
Asisten di sebelahnya tampak ragu. “Pak, dia terlihat benar-benar panik… Mungkin kita harus—”
“Kita selesaikan sesuai kontrak,” potong Victor, ekspresinya tetap dingin. “Jika ada tanda bahaya yang lebih jelas, kita akan hentikan. Tapi untuk sekarang, dia masih dalam batas wajar.”
Juli merintih lebih keras, tubuhnya gemetar. Dia mulai menendang-nendangkan kakinya sejauh yang bisa dilakukan dalam keterbatasan posisinya. Suara gesekan lakban dan erangan tertahan memenuhi ruangan. Dia mencoba menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri, berusaha melepaskan diri meskipun dia tahu itu sia-sia. Napasnya semakin tidak teratur, dada naik turun dengan cepat seiring meningkatnya ketakutannya.
Matanya memohon, tubuhnya bergetar hebat, tetapi Victor hanya menghela napas panjang, tampak sedikit terganggu dengan pergerakan yang tidak terkendali itu.
“Tambahkan satu lapisan lagi,” katanya santai kepada asistennya.
Tanpa banyak bicara, asisten segera mengambil gulungan lakban baru dan mulai membalut tubuh Juli sekali lagi. Lapisan tambahan itu semakin membatasi pergerakannya, menekan tubuhnya lebih erat. Jika sebelumnya dia masih bisa menggeliat sedikit, kini bahkan gerakan sekecil apa pun terasa mustahil.
Juli merintih tertahan, terperangkap dalam kepanikannya sendiri. Napasnya terengah-engah, tetapi dia kelelahan untuk terus berontak. Air matanya mengalir, tapi tidak ada yang bisa melihatnya. Satu-satunya suara yang terdengar adalah klik kamera yang terus menangkap ekspresinya yang putus asa.
Hingga akhirnya, alarm berbunyi. Tiga puluh menit telah berlalu.
Victor segera menginstruksikan asistennya untuk memotong lakban dan melepaskan ikatan. Begitu lapisan terakhir terlepas, Juli terjatuh di ranjang, tubuhnya masih bergetar hebat. Napasnya tersengal, tetapi dia tetap hidup. Mata berkaca-kacanya menatap Victor dengan campuran ketakutan dan rasa lega yang aneh.
Victor tersenyum kecil. “Kau melakukannya dengan baik. Foto-fotonya akan luar biasa.”
Juli tidak menjawab. Dia hanya bisa duduk di sana, mencoba memahami apa yang baru saja dia alami.
Satu hal yang pasti—pengalaman ini tidak akan pernah dia lupakan.