Juli menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ini adalah tantangan yang ia setujui—sebuah uji nyali ekstrem: melakukan perjalanan dari Jakarta ke Puncak, Bogor, dalam keadaan terbungkus lakban sepenuhnya, dengan pose hogtied.
Riki, temannya yang bertugas membungkusnya, sudah bersiap dengan gulungan lakban microfoam lebar di tangan. Toni, asistennya, memegang kamera untuk mendokumentasikan semuanya.
“Kamu yakin mau lanjut?” tanya Riki, matanya berbinar.
Juli mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang. “Iya, tapi sesuai rencana ya. Satu lapisan saja.”
Riki tersenyum. “Oke, mulai.”
Lapisan Pertama: Awal yang Masih Terkendali
Juli duduk di lantai dengan lutut ditekuk. Riki segera membungkus pergelangan kakinya, merekatkannya dengan erat. Juli masih bisa merasakan sentuhan udara di kulitnya saat lakban pertama melilit tubuhnya.
“Nggak terlalu ketat, kan?” tanyanya, mencoba tetap tenang.
“Santai, ini baru awal,” jawab Riki sambil terus membungkus.
Kaki Juli direkatkan ke belakang, lalu tangannya ditarik dan diikat dalam posisi hogtied. Juli merasakan tekanan pertama saat sendi-sendinya mulai tertekan. Namun, ia masih bisa bergerak sedikit.
Kemudian, Riki mulai membungkus tubuh Juli dari dada ke bawah, melilitkan lakban dengan rapat. Juli menghela napas saat dadanya mulai terasa sesak.
“Ini baru satu lapisan, Juli. Kamu masih bisa berontak nggak?” goda Toni sambil merekam.
Juli mencoba menggerakkan bahu. “Masih… tapi mulai sesak.”
Lapisan Kedua: Rasa Terjebak yang Mulai Menghantui
Sebelum Juli menyadarinya, Riki sudah mengambil gulungan lakban baru.
“Eh, tunggu—kata-katanya cuma satu lapisan—”
Tapi Riki sudah memulai lapisan kedua, membungkus lebih kencang. Lakban merekat sempurna, menekan lebih dalam. Juli mulai merasakan gerakannya semakin terbatas.
“Riki, nggak perlu lapisan kedua—MMMPHH!”
Tiba-tiba, sebuah lakban menutup mulutnya. Riki dengan cepat membungkus kepala Juli, hanya menyisakan lubang hidung. Juli menggeleng-geleng panik, tapi Riki terus membungkus tanpa ampun.
Lapisan Ketiga: Kepanikan yang Tak Terbendung
Juli kini hanya bisa mengeluarkan suara “MMMFF! MMMFFF!” dari hidungnya. Matanya melotot ketakutan saat Riki mengambil gulungan ketiga.
“Kita tambah biar nggak bisa lepas,” kata Riki dengan nada menggoda.
Lakban ketiga melilit lebih ketat. Juli mencoba berontak, tapi tubuhnya sudah terlalu tertekan. Napasnya menjadi berat, dan ia merasakan keringat dingin mengalir di bawah lapisan lakban.
Lapisan Keempat: Kekakuan yang Tak Terelakkan
“MMMPPPHHHH!!!” Juli berteriak dalam bungkusannya, tapi suaranya hanya berupa dengusan panik.
Riki dan Toni tertawa. “Dia mulai panik nih,” kata Toni.
Lakban keempat membuat Juli benar-benar tidak bisa bergerak. Setiap tarikan napas terasa seperti perjuangan. Ia mencoba menggeliat, tapi lakban telah mengubahnya menjadi boneka kaku.
Lapisan Kelima: Kepatuhan Total
Juli sudah menyerah. Tubuhnya lemas, hanya bisa terdiam saat Riki membungkusnya untuk terakhir kali.
“Nah, sekarang baru sempurna,” kata Riki, menepuk-nepuk tubuh Juli yang sudah berbentuk seperti mumi lakban.
Juli hanya bisa bernafas dengan cepat, matanya berkaca-kaca. Ia merasakan setiap inci tubuhnya terjepit, seolah-olah lakban itu hidup dan terus menelan dirinya.
Perjalanan Mengerikan Dimulai
Riki dan Toni mengangkat tubuh Juli yang kaku dan memasukkannya ke dalam mobil. Juli tidak bisa melihat apa-apa, tidak bisa berteriak, hanya bisa merasakan getaran mesin mobil dan suara tawa mereka.
“Selamat jalan, Juli. Semoga sampai tujuan!”
Dan mobil pun melaju, membawa Juli dalam kegelapan dan keputusasaan, menuju Puncak—dalam keadaan terbelenggu tanpa bisa melawan.