Site icon CERITA MUMIFIKASI ONLINE

[Cerita Mumi] Perjalanan Terbelenggu (Bagian 2)

[Cerita Mumi] Perjalanan Terbelenggu (Bagian 1)

[Cerita Mumi] Perjalanan Terbelenggu (Bagian 1)

Baca Dulu Bagian 1

Perjalanan Menuju Puncak dalam Kegelapan

Mobil terus melaju, getaran mesin menjadi satu-satunya hal yang bisa Juli rasakan selain desakan lakban yang mencekik. Setiap tarikan napasnya berat, udara hanya bisa masuk melalui dua lubang hidung kecil yang tersisa. Matanya tertutup rapat oleh lapisan lakban, membuatnya buta dalam kegelapan.

“MMMFF! MMMFFF!”

Ia mencoba berteriak, tapi suaranya hanya berupa dengusan tak jelas. Tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak, dibungkus lima lapis lakban microfoam yang semakin mengeras seperti gips.

Di kursi depan, Riki dan Toni tertawa sambil mendengarkan musik.

“Denger nggak? Dia masih berusaha ngomong,” kata Toni, memutar balik untuk menepuk tubuh Juli yang terbungkus rapat.

“Santai aja, nggak lama lagi sampai,” jawab Riki sambil tersenyum.

Juli merasakan panik yang semakin dalamAku harus keluar dari sini! Tapi setiap kali ia mencoba menggerakkan bahu atau lutut, lakban itu hanya menggigit lebih dalam ke kulitnya.

Tiba di Villa Horor yang Sesungguhnya Dimulai

Setelah perjalanan dua jam yang terasa seperti siksaan, mobil akhirnya berhenti. Juli mendengar suara pintu terbuka, lalu tangan-tangan kasar menggapainya.

“Waktunya keluar, Juli!”

Tubuhnya yang kaku seperti mumi diangkat dengan kasar. Udara malam Puncak yang dingin menyentuh kulitnya yang terbungkus, tapi tidak memberikan kenyamanan—hanya rasa terpapar yang mengerikan.

Ia mendengar suara banyak orang.

“Akhirnya dateng juga!”
“Nih dia sang ‘bungkusan’ kita!”
“Keren banget lapisannya!”

Suara-suara itu datang dari sekitar 20 pria—beberapa Juli kenal, sebagian lagi tidak. Mereka tertawa, bersorak, seolah Juli hanyalah hiburan malam ini.

“MMMPPPHHH!!!” Juli berontak sekuat tenaga, tapi tubuhnya hanya bergoyang lemah seperti boneka kain.

Seorang pria—mungkin pemilik villa—mengangkatnya dengan mudah. “Kita foto-foto dulu!”

Juli merasakan tangan-tangan asing memegangnya dari berbagai arah. Seseorang menggendongnya seperti barang, sementara yang lain memeluk, menepuk, bahkan mencubit tubuhnya yang terbungkus.

“Dia masih bisa ngerasakan kan ya?” tanya seorang pria sambil menekan lengan Juli.

“Pasti bisa. Coba liat, dia nafasnya cepat banget,” jawab yang lain.

Juli ingin menjerit, tapi yang keluar hanya suara terengah-engah dari hidungnya.

Satu Jam dalam Kengerian – Dipindah-tangankan seperti Barang

Rencana awalnya adalah langsung dibebaskan setelah sampai. Tapi ternyata, tidak ada yang terburu-buru melepasnya.

Malah, Juli menjadi hiburan utama.

Pria pertama menggendongnya ke ruang tengah, memamerkan “hasil karya” Riki kepada yang lain. “Nih, liat betapa ketatnya!”

Juli merasakan tangan-tangan yang mengeksplorasi tubuhnya. Seseorang mengetuk-ngetuk lakban di perutnya, yang lain menggoyang-goyangkan kakinya yang terikat hogtied.

“MMMFFF!! MMMFFF!!”

Tapi tidak ada yang peduli.

Pria kedua mengambil alih, mengangkat Juli dengan satu lengan seperti karung“Ringan sih, tapi kaku banget!”

Juli terguncang-guncang saat ia dipindahkan ke orang berikutnya. Lapisan lakban semakin terasa seperti peti mati.

Pria ketiga malah duduk di sofa dengan Juli di pangkuannya, seolah ia hanya bantal hidup.

“Bayangin kalo kita biarin dia gini semalaman?”

Juli gemetar ketakutan.

Pria keempat malah berpura-pura menjatuhkannya, membuat Juli kaget dan mengeluarkan suara teriakan muffle.

“Hahaha! Liat tuh mukanya pasti udah pucat!”

Titik Puncak Keputusasaan

Setelah hampir satu jam dipindah-tangankan, Juli sudah lemas secara mental.

Napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya di bawah lakban. Ia bahkan tidak bisa menangis karena lakban menutupi matanya.

“Udah mau dilepas belum nih?” tanya seseorang.

“Nunggu Bos dulu. Katanya mau liat dulu,” jawab Riki.

Juli merasakan tangan besar mengangkatnya lagi. Kali ini, suara yang terdengar lebih berat.

“Bagus. Kalian bener-bener bungkus sampai nggak bisa bergerak sama sekali ya?”

Juli mengenali suara itu—Bos pabrik lakban tempatnya bekerja.

“MMMFFF!! MMMFFF!!” Ia berusaha memohon.

Tapi Bos hanya tertawa. “Besok kita bisa coba versi lebih ekstrem. Sekarang, foto dulu buat dokumentasi.”

Flash kamera menyala. Juli merasakan dirinya dijadikan tontonan, diabadikan dalam keadaan paling tidak berdaya.

Akankah Juli Dibebaskan?

“Oke, sekarang kita lepas?” tanya Toni.

Tapi Bos menggeleng. “Bawa ke kamar atas. Kita tungguin sampai besok pagi.”

“MMMFFFF!!! MMMFFFFF!!!!” Juli menjerit sekuat tenaga.

Tapi suaranya tenggelam dalam tawa dan sorak-sorai.

Ia diangkat lagi, dibawa menuju tangga. Setiap langkah membuatnya terguncang, dan Juli mulai merasa mual.

“Jangan nanti muntah ya, nanti susah bersihinnya,” canda seseorang.

Pintu kamar terbuka. Juli dilempar ke atas kasur.

“Selamat malam, Juli. Tidur yang nyenyak,” ujar Riki sambil menutup pintu.

Dan kemudian… sunyi.

Juli sendirian.

Terbungkus.

Tidak bisa bergerak.

Tidak bisa berteriak.

Tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Exit mobile version