Site icon CERITA MUMIFIKASI ONLINE

[Cerita Mumifikasi] pelanggaran kecil

[Cerita Mumifikasi] pelanggaran kecil

[Cerita Mumifikasi] pelanggaran kecil

Siapa yang menyangka bahwa pelanggaran kecil bisa membawamu pada hukuman terburuk yang tak terbayangkan?
Siapa yang tahu bahwa melakukan hal sepele sangat kecil dan tidak berarti bisa membuatmu menghadapi kemarahan tuanmu? Sungguh, siapa yang tahu?

Pikiran-pikiran itu melintas di kepalamu saat kau duduk di dalam sel, pintu terkunci, dengan borgol melekat di pergelangan tanganmu. Dulu, borgol itu mungkin sumber kesenangan dan kegembiraan. Kini, ia hanya menebar ketakutan.

Borgol di pergelangan kakimu mengingatkanmu bahwa kau takkan bisa kabur. Tuanmu paham cara menghukum budak nakal dan cara menahan mereka agar tak melarikan diri.

Setidaknya, ia tak memaksamu mengenakan sesuatu yang memalukan. Ia membiarkanmu tetap dalam sarung tangan putih tubuhmu sambil mengaitkan borgol kuno itu ke tubuhmu.

Dan kini, kau di sini, duduk di sel bawah tanah, menunggu hukuman apa yang telah disiapkan tuanmu.

Waktu berlalu. Berapa jam? Kau tak tahu. Sel hukuman tak memiliki jam. Bisa jadi beberapa menit, beberapa jam, atau bahkan beberapa hari. Kau takkan pernah tahu.

Akhirnya, suara. Bunyi kunci saat pintu terbuka. Kau menatap, berharap tuanmu telah memaafkanmu.

Namun, wajahnya tegas dan marah. Tak ada belas kasihan di matanya. Kau gemetar. Ketika tuanmu memutuskan untuk kejam, ia benar-benar kejam.

Kau dibawa ke ruang tamu. Budak-budak lain sudah menunggu. Kau satu-satunya yang diborgol. Itu pertanda buruk.

Tuanmu membawamu ke tengah ruangan dan memerintahkanmu untuk diam di sana. Kau berjalan dengan borgol dan berusaha patuh sebisamu.

Saat kau sudah di tempat, tuanmu mengambil rantai dan menguncimu ke lantai, memastikan kau tak bisa melarikan diri. Tubuhmu gemetar tak terkendali, meski kau berusaha menahannya.

Tuanmu berdiri di depanmu dan budak-budak lainnya. Ia mengambil selembar kertas, membukanya, dan mulai membacakan:

“Seorang budak tidak boleh tidak taat pada tuannya. Ini adalah hal yang diketahui semua budak dan pemilik. Jika seorang budak berani melanggar perintah tuannya, maka hukuman pantas diberikan. Jika ia pelanggar berulang, hukuman yang lebih keras diperlukan.”

Matanya menatap tajam, seolah berkata, “Jangan main-main denganku.” Dengan suara sedingin es, ia melanjutkan, “Terkadang, hukuman tetap harus dilakukan.”

Kau menggigil ketakutan.

Namun, keadaan justru semakin buruk. Tuanmu membaca daftar hukumanmu. Sejak ia membelimu sepuluh tahun lalu, kau sesekali membuat kesalahan. Tapi daftar ini… sungguh memberatkan.

Akhirnya, ia melipat kertas itu. “Jelas bagiku bahwa budak ini tidak memenuhi standar dan telah gagal menjalankan tugasnya. Karena itu, aku harus menjatuhkan hukuman.”

Jantungmu berhenti berdetak.

“Aku menghukum budak ini untuk dimumifikasi dan dikubur hidup-hidup.”

Jantungmu tak lagi berdetak.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Pikiran itu terus berputar di kepalamu saat kau dikurung di ruang bawah tanah. Kau berdiri, tangan terantai di atas kepala, pergelangan kaki terkunci.

Tuanmu berdiri beberapa langkah darimu, mengawasi dengan tenang. Budak-budak lain akan melakukan pekerjaan kotor. Mereka memborgolmu dalam diam, tak berani menatapmu—terlalu malu atau terlalu takut pada kemarahan tuan.

Ketika siap, proses mumifikasi dimulai. Mereka mengambil perban yang telah disiapkan. Kau tahu bagaimana ini akan berjalan: perban elastis pertama, lalu karet, kemudian kain, lapisan elastis lagi, lapisan karet lagi, dan terakhir lakban.

Saat borgol dilepas, kau tak melawan. Kau membiarkan tubuhmu lemas, mempermudah mereka memumifikasimu.

Perlawanan hanya akan menambah hukuman.

Saat kakimu dibungkus, pikiranmu melayang ke masa lalu—saat kau pertama kali dibeli oleh tuanmu.

Sepuluh tahun lalu, kau disergap saat berjalan pulang. Kau dipukul hingga pingsan dengan kloroform. Saat siuman, kau sudah terikat di ruang bawah tanah, bersama pria dan wanita lain.

Kalian semua menangis ketika sekelompok pria kasar mengumumkan bahwa kalian kini menjadi budak. Kau berteriak, berusaha melepaskan diri, tetapi tali itu terlalu kuat.

Beberapa hari kemudian, kalian diikat dan dimasukkan ke dalam van. Kau dibawa jauh dari semua yang kau kenal dan cintai—jauh dari teman, keluarga, atau hukum.

Di atas panggung kayu, kalian dilelang. Kau menarik perhatian seorang pria paruh baya dengan wajah ramah. Dalam keputusasaan, kau berpikir mungkin ia akan menolongmu.

Ia tersenyum saat membayarmu. “Jangan takut,” katanya sambil menarik tali di lehermu. “Aku akan menjagamu. Aku sudah mencintaimu.”

Saat mobilnya melaju, kau berpikir mungkin hidupmu akan baik-baik saja.

Kau salah.

Meski terlihat ramah, ia adalah tiran. Ia menuntut kepatuhan mutlak. Jika kau melanggar, ada siksaan, rasa sakit, dan penderitaan.

Namun, di saat lain, ia berkata ia mencintaimu dan ingin kau bersamanya.

Lima tahun kemudian, pikiranmu mulai berubah. Kau tak lagi bisa berpikir jernih. Hanya ada saat-saat ketika tuanmu baik dan murah hati, lalu saat-saat ketika ia kejam dan penuh kebencian.

“Aku adalah ayah barumu,” katanya. “Aku harus menghukummu untuk memperbaikimu.”

Tapi rasa sakitnya tak tertahankan. Luka, luka bakar, dan sayatan pisau tumpul membuatmu menjerit di balik gag tebal.

Jika kau patuh, ia melatihmu menjadi pelayan. Kau dipakaikan baju karet ala pelayan Prancis dan dipaksa memakainya 23 jam sehari. Lenganmu dipaksa ke belakang dan dimasukkan ke dalam pengikat lengan selama berjam-jam.

Sebuah hood menutupi kepalamu. Gag selalu ada di mulutmu. Terkadang, untuk bersenang-senang, tuanmu mengaitkan tali ke pengikat lenganmu, memaksa kepalamu menekuk ke belakang.

Rasa sakitnya selalu mengerikan.

Lambat laun, kau menyerah pada hidup sebagai budak. Pintu selalu terkunci, telepon diputus, dan hambatan selalu diterapkan. Tak ada jalan keluar.

Semakin lama, semakin banyak budak bergabung. Tuanmu berkata ia mencintai mereka juga, dan ia harus menghukum mereka jika mereka melanggar.

Bertahun-tahun kemudian, tak seorang pun berani melawannya—kecuali diam-diam, saat yakin tak akan ketahuan.

Sayangnya, itu tidak terjadi padamu.

Perban di lehermu menghentikan lamunanmu. Budak-budak lain telah menyelesaikan lapisan pertama mumifikasi. Perban elastis putih kini membungkus tubuhmu, mengompresnya. Kau menggeliat tak nyaman.

Ketika lehermu terbungkus, mereka melanjutkan ke lengan dan kepala. Rambutmu dipotong, lalu kepala ditutup kerudung.

Kini, hampir seluruh tubuhmu tertutup putih—hanya matamu yang masih terlihat.

Lapisan pertama selesai. Mereka mulai lapisan berikutnya: perban karet tebal.

Mumifikasi bukan hal baru bagimu. Ini sering terjadi di rumah ini. Kau sudah terbiasa dibungkus dari kepala hingga kaki selama berjam-jam.

Tapi kali ini berbeda. Ini permanen. Perban ini takkan pernah dilepas. Ia akan menjadi bagian dari kulitmu selamanya.

Lapisan demi lapisan terus ditambahkan: karet, kain, elastis. Setiap lapisan menguburmu lebih dalam, menyegelmu dalam pembungkus abadi.

Kini, tubuhmu sudah terbungkus setebal beberapa inci. Kau tak melawan. Kau lelah—sepuluh tahun perbudakan akhirnya mengalahkanmu. Bahkan jika kau ingin melawan, mustahil. Kau hanya bisa menggoyang-goyang.

Rantai yang mengikatmu dikendurkan. Tubuhmu yang sudah terbungkus diturunkan ke lantai. Budak-budak lain memegangmu, melipat lenganmu ke belakang, dan mengikatnya dalam posisi armbar.

Lenganmu kini menyatu, tak berguna. Kau menutup mata, air mata mengalir. Kau menangis saat menyadari lenganmu takkan pernah bebas lagi.

Kau ingin berteriak, memohon belas kasihan. Tapi mulutmu tertutup rapat. Tak ada suara yang keluar. Air mata mengalir deras saat kau sadar: kau takkan pernah berbicara lagi.

Tuanmu berdiri di sana, dingin, tanpa ampun. Kau telah berbuat salah. Sekarang, kau harus membayarnya.

Kau dibawa ke atas dan diletakkan di ruang tamu sementara budak-budak lain menggali kuburanmu. Kau terbaring di karpet, tak bisa bergerak. Kau hanya bisa merasakan sesuatu di bawahmu, tapi tak lebih.

Tuanmu duduk di sofa, menatapmu dengan mata dingin. Kau menatap balik, ingin memohon pengampunan. “Tolong,” kau ingin berkata. “Jika kau akan membunuhku, lakukan dengan cepat. Jangan siksa aku seperti ini.”

Tapi ia tak mendengar. Dari tatapannya, kau tahu ia paham—tapi ia tak peduli. Tak ada belas kasihan lagi.

Satu jam kemudian, budak-budak lain datang menjemputmu. Saat itulah kau hancur. Ketika mereka mengangkatmu dan membawamu keluar, kau mulai terisak—teriakanmu tertahan di dalam.

Air mata mengalir saat kau dibawa ke pemakamanmu. Hanya matamu yang masih terlihat, menyampaikan keputusasaan.

Tak ada yang peduli. Yang lain sedih, tapi tahu tak ada yang bisa mengubah keputusan tuan.

Akhirnya, mereka menurunkanmu ke dalam kotak. Kau tersentak kaku: itu peti matimu. Kau menggeliat saat tali mengikatmu di dalamnya, menyegelmu selamanya.

Kau menggoyang-goyang, ketakutan. Kau masih bisa melihat langit, awan yang bergerak lamban.

Yang kau tak tahu adalah bahwa kau berada di sudut taman, di antara semak liar—tempat yang tak terurus, tak terlihat. Di sinilah kau akan dikubur, tersegel untuk selamanya.

Tak ada jalan keluar.

Tuanmu membungkuk, menatapmu langsung.

“Kau berbuat salah, dan aku menghukummu. Kekekalan dalam kegelapan, terpisah dari semua. Kekekalan sendirian, takkan pernah bebas.”

“Ini tidak adil!” kau berteriak dalam diam. “Kau menuntut kesempurnaan, padahal tak ada manusia yang sempurna!”

Tapi kau sadar: kalian semua hanya mainan bagi keinginannya yang sakit. Tak ada yang bisa menghentikannya.

“Selamat tinggal, Julia,” katanya.

Peti mati ditutup.

Kau berteriak saat paku dipukul. Kau menjerit histeris saat petimu diturunkan ke tanah.

“Tolong! Jangan tinggalkan aku di sini! Aku menyesal! Tolong!”

Tak ada yang mendengar. Tanah menutupimu, menyegelmu selamanya. Kau menggeliat, berusaha kabur—tapi perban mengikatmu erat.

Lalu, semuanya berhenti.

Gelap. Sangat gelap. Tak ada cahaya.

Hanya suara napasmu sendiri.

Tak ada yang bisa kau rasakan. Perban telah mematikan indramu.

Tak ada apa-apa.

Benar-benar kosong.

Inilah nasibmu: terkubur hidup-hidup.

Kau menangis, tahu tak ada jalan keluar. Kau akan tetap seperti ini selamanya—dikirim ke sini oleh tuanmu yang tak punya belas kasihan.

Enam kaki di atasmu, tuan dan budak-budak lain pergi. Taman itu akan ditumbuhi rumput liar. Kau akan tetap di sini, terkubur untuk selamanya.

Sekarang, kau hanya bisa bernapas. Itu hanya memperpanjang penderitaan, tapi nalurimu memaksamu terus hidup.

Berapa lama kau akan bertahan? Kau tak tahu. Yang kau tahu adalah kau sudah menjadi mumi, tersegel dalam kuburan, jauh dari rumah.

Udara mungkin bertahan beberapa jam… atau beberapa hari. Tanpa patokan waktu, mustahil mengetahuinya.

Hingga akhirnya, kau akan gila.

Tak ada jalan keluar.

Saat kau merenung, satu pikiran muncul:

Siapa yang menyangka?

Siapa yang tahu bahwa memakan sepotong kue tuanmu akan membawamu ke sini?

Kau mulai tertawa. Entah itu tawa gugup atau kegilaan, kau tak tahu.

Tak peduli lagi.

Bagimu, ini sudah berakhir.

Exit mobile version